Apa guna merasa aman jika persoalan tak diatasi dan percakapan direduksi menjadi sekedar perbincangan pasif, mari berdialog mungkin seputar perihal yang menghambat kinerja lembaga pengawas atau dapat juga berarti pengetahuan tentang sosialisasi untuk masyarakat tentang tata cara pelaporan atas pelanggaran administrasi, wow…..hal kerenkah ini ?
Dan kita buka dengan pandangan umum bahwa, “Siapa yang memberikan kita terima, soal memilih nantilah, karena janji politik Caleg belum tentu di tepati,” demikian tutur pandangan publik.
“Memang mayoritas bahkan sangat tinggi memaklumi, mereka sudah terbiasa menerima itu. Jadi masyarakat dari Pileg ke Pileg bahkan pilkada kalau kita lihat respon masyarakat cukup memaklumi, mereka sudah terbiasa menerima hal itu,” ujar Muslimin
Direktur Charta Politika Indonesia, (Jakarta Selatan, Senin, (11/2).
Sesi lain bagi masyarakat cerdas demokrasi, di tengah kecurangan yang terus menerus berpotensi mereka acuh terhadap pelaksanaan pemilihan ini, jika pemilu tanpa hadirnya pengawasan secara struktural dan fungsional yang kokoh, ” berpotensi besar akan menimbulkan hilangnya hak pilih warga negara, maraknya politik uang, kampanye hitam, dan pemilu yang tidak sesuai aturan”. ungkap Sb. Dampak lanjutan pemilu yang tidak berintegritas adalah timbulnya sengketa dan gugatan hasil pemilu.
Namun, kata Muslimin, masyarakat umumnya hanya menerima uang dan belum tentu memilih calon atau pihak yang memberi uang. Muslimin merinci, di Dapil DKI Jakarta 1 pada Pemilu 2019, sebanyak 58,2 persen masyarakat memaklumi politik uang, 31,3 persen politik uang tidak dapat dimaklumi, dan masyarakat yang menjawab tidak tahu atau tidak jawab 10,5 persen.
Muslimin menambahkan, masyarakat juga menginginkan hadiah berupa sembako, kaos, kalender, mukena, topi, dan payung dalam kampanye. Menurutnya, masyarakat yang menginginkan hadiah berupa sembako untuk Dapil DKI Jakarta 1 sebanyak 30,7 persen, Dapil DKI Jakarta 2 sebanyak 36,0 persen dan Dapil DKI Jakarta 3 sebanyak 40,8 persen.
Dengan hal tersebut, kata dia, politik uang di tengah masyarakat masih tinggi karena kurangnya masalah faktor pendidikan politik itu sendiri. “Menurut saya pendidikan politik terhadap publik memang masih sangat rendah,” ujarnya.
“Tapi tawar-menawar membutuhkan kekuatan tertentu, uang sogok tertentu, hubungan famili tertentu. Yang tak punya kekuatan, uang, atau keluarga pejabat akan tak mampu merundingkan nasibnya. Disinilah yang disebut “ketimpangan sosial” bukan cuma beda kaya dan miskin, melainkan beda status: “bisa dikorbankan” atau “tidak bisa dikorbankan”. Tapi harapan selalu ada yakni bagaimana menghindari potensi pelanggaran pemilu muncul dengan menjalankan strategi pencegahan yang optimal. Bawaslu juga diharapkan mampu melakukan penindakan tegas, efektif, dan menjadi hakim pemilu yang adil _SB
© Copyright 2023, Semua hak dilindungi undang-undang. Materi ini tidak boleh dipublikasikan, disiarkan, ditulis ulang, atau didistribusikan ulang tanpa izin.