Artikel, Budaya – reaksipress.com – Ketika tak ada restu dari orangtua, sepasang kekasih terkadang berpikiran nekat supaya tetap melangsungkan pernikahan. Dengan kawin lari misalnya. Menurut beberapa pasangan, cara ini cukup ampuh supaya jalinan cinta mereka tetap berjalan. Walaupun mereka tahu kalau restu orangtua di atas segalanya.
Soal kawin lari, Suku Bugis mempunyai istilah tersendiri yaitu ‘Silariang‘. Sebenarnya ini sama dengan kawin lari biasa, namun berbeda di beberapa aspek
Seorang Bocah di Parepare terpaksa menikah dini. Sebelumnya, Keduanya mengancam akan kabur bersama alias silariang. Awalnya tak satupun yang setuju AS dan DV menikah. Alasannya, kedua anak di Parepare ini masih bocah alias di bawah umur. Namun, demi menjaga hal-hal yang tak diinginkan, Pihak keluarga akhirnya setuju menikahkan mereka setelah keduanya mengancam akan kabur bersama alias ‘silariang‘. Apalagi sebelumnya, keduanya sudah pernah minggat dan tinggal bersama. Karena alasan itu, keduanya pun dinikahkan pada Minggu, 3 Maret 2019. Meski pernikahannya itu berlangsung sederhana, namun itu sempat viral setelag foto-foto pernikahannya tersebar di media sosial (Medsos) . Ibunda AS, sebut saja namanya Melati hanya bisa pasrah. Meski begitu ia tetap mendoakan anaknya bahagia “Terpaksa pak, terpaksa dia dinikahkan,” tutur Melati, Senin, 4 Maret.
Ibu itu menuturkan, sebelumnya putranya dan juga menantunya sempat menghilang. “Terakhir kami tahu keduanya tinggal di Kota Parepare. . Daripada jadi aib, kami bujuk dia pulang ke rumah,” katanya Melati menyebut jika menantunya DV bukanlah siapa-siapa. “Menantu saya ini masih kerabat juga,” ujarnya.
Jika di Makassar, ‘Silariang‘ itu termasuk perbuatan yang disebut dengan ‘Annyala’. Di mana ‘Annyala’ merupakan kesalahan terbesar yang dilakukan pasangan di mabuk cinta saat ingin menembus tembok restu dari kedua belah pihak keluarga. Dan fenomena tersebut menjadi aib dan dapat mencoreng nama keluarga besar, terutama untuk pihak perempuan.
Ketika sepasang kekasih ini memilih untuk ‘Silariang’ maka keluarga masing-masing mendapat julukan dari masyarakat. Untuk pihak perempuan akan disebut dengan ‘appakasirik‘, Artinya, si perempuan sudah menjatuhkan harga diri keluarga. Sedangkan pada keluarga laki-laki akan dijuluki sebagai ‘tumasirik‘. Sebutan tersebut mempunyai makna jika laki-laki yang membawa kabur perempuan, maka keluarganya akan kehilangan muka di masyarakat.
Tapi, si wanita dan pria yang melakukan ‘silariang‘ juga ikut mendapat julukan buruk di mata masyarakat. Namanya adalah tumate attallasa yang artinya adalah orang mati namun masih hidup. Maksudnya, mereka berdua sudah diibaratkan mati dan tidak akan dianggap lagi oleh pihak keluarga. Akan tetapi, anggapan ini akan hilang dengan sendirinya jika mereka melakukan mabbajik alias memperbaiki hubungan.
Akibat dari ‘silariang‘ ini bukan hanya mendapatkan julukan buruk. Namun untuk keluarga wanita akan tercipta dendam yang dibebankan ke pundak para laki-laki. Ini dilakukan lantaran untuk menegakkan harga diri keluarga di depan masyarakat. Jadi, wajib hukumnya bagi para lelaki untuk melukai lelaki pasangan ‘silariang‘ tersebut menggunakan badik. Tak peduli di mana dan kapan pun para lelaki harus melakukannya tanpa ampun.
Namun, pasangan ‘silariang‘ tidak akan mendapat julukan-julukan atau hukuman apabila mereka sudah berada di rumah imam kampung. Berdasarkan peraturan yang berlaku, pasangan tersebut tidak boleh diganggu dalam bentuk apapun. Tapi di sini imam kampung juga tidak berpangku tangan begitu saja. Ia bertugas untuk mendamaikan pasangan silariang dan masing-masing keluarga.
Lalu, bagaimana ‘silariang‘ di zaman sekarang? Dilansir dari laman daenggasing.com, hukum adat atas pelaku ‘silariang‘ masih terus dilakukan. Bedanya hanya menusuk pasangan silariang dengan badik semakin menurun. Dikarenakan itu dianggap tidak adil dan bisa menjebloskan diri ke penjara.
© Copyright 2023, Semua hak dilindungi undang-undang. Materi ini tidak boleh dipublikasikan, disiarkan, ditulis ulang, atau didistribusikan ulang tanpa izin.