- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
Catatan Sejarah Maros : Samangki, desa dengan bebukitan kars dan panorama mengesan, alam pegunungan berpadu dengan bukit-bukit kebiruan yang klasik, serta hamparan kedai kedai sepanjang jalan milik pribumi yang menjajakan jagung rebus, ke-unikan tempat ini membentuk barisan kawasan ini sangat ideal (khususnya remaja) yang hendak melakukan Camping, Caving (Penelusuran Gua (1: Saripa) panjat tebing atau sekedar menikmati panorama alam , sungai dan flora-fauna khas yang terdapat di dalamnya.
Dalam history Samangki sebagai tempat, tersebutlah seorang pengelana yang dituakan dengan istilah Jo’a, sebab menemukan atau membuka wilayah pertamakali tempat tersebut, oleh Joa’ Imanggarassa, atau dikenal juga nama lain yaitu Dg Majjoa Imanggarote, sumber lain memberi pula inisial “Imanggarotta Giowa”.
Catatan keberadaan Dg. Majjoa inilah kemudian menjadi jejak awal pembicaraan kampung Simbang ini, dalam Folklor Attoriolong Simbang Kab Maros. Tentang penamaan “Samanggi”, nama awal menandai tempat ini sebagai pusat atau titik tengah tempat pertemuan suku Bugis Bone dan suku Makassar Gowa pada periode sejarah (sebelum berdirinya imperium kerajaan Bugis dan Makassar).
Liputan Crew Reaksi Press dan stakeholder Budaya Pappaseng Maros ke lacak jejak ini, terjelaskan asal kata “Samanggi”, bahwa Samanggi sebagai nama kampung dalam literasi bahasa Makassar disebut dengan “Samangki”, sedang dalam literasi bahasa Bugis dinamakan “Samakki”, sebuah kata / tutur yang berbeda tetapi berarti sama yaitu “bersamaan “, atau bersamaan berada di tempat tersebut, (daerah Parang Tinggia spesifik tempat tersebut).
Misteri Samangki Parang Tinggia ini, meresapkan peristiwa sebelum masa damai atau masa konflik antara dua suku besar yang berakhir atas terjalinnya hubungan kekerabatan sebab “pernikahan” yang kemudian melahirkan kesepakatan damai dan ke-tentraman, yang disaksikan oleh Gallarang Tallua (terj : 3 kelompok pembesar) dalam hal ini adalah Samangki, Sampakang dan Sambueja, (dibawah naungan tukusiang) atau kelompok kesukuan “Simbang”, yang di pimpin oleh Dg Majjoa Imanggarote dan sahabatnya Imagguliling Petta Benteng.
Senja mulai turun, ketika lacak jejak ini menambahkan tokoh silam dalam parikadong/ cerita rakyat tentang “Uak Kope”, kope menurut sumber (maaf) payudara seseorang mampu dibentang kebelakang jika menyusukan anaknya, yah.., seorang perempuan yang menjadi inspirasi tokoh lamapau dalam paupau Rikadong …… (akan kami ceritakan pada episode berikut).
Daya tarik wisata menguatkan “ Cagar Budaya Biseang Labboro” dan juga seni-budaya Je’ne Taesa, di je’ne Taesa pula tepatnya Dusun Parang Tinggia tampak warga hidup rukun berdampingan dengan puluhan ribu ekor kelelawar yang bergelantungan di setiap pohon, kelelawar unik dengan ciri bulu putih di dadanya, Perihal ke-akrab-an warga dengan kelelawar terjalin sebab tak satu pun kelelawar yang merusak, apalagi memakan tumbuhan, seperti pisang dan mangga, yang ditanam warga, demikianlah sehingga warga menjaga kelestarian kelelawar tersebut. Tak satu pun warga yang berani mengusik, apalagi menangkap. Bahkan, jika ada kelelawar yang sakit dan jatuh dari pohon, oleh warga dirawat bagaikan binatang peliharaan sendiri.
_Tulisan : Kaimuddin Mbck_
______________
Glosarium
* Parang Tinggia : Parang ;tanah lapang/padang dan Tinggia berarti tinggi
*Gua Saripa : Berada di Dusun Ta’deang, Desa Samangki ini, terletak sangat dekat dengan jalan poros Makassar-Bone, sehingga mudah diakses untuk mencapai gua tersebut. Dengan mulut gua cukup besar, gua ini mempunyai lorong yang sangat rumit dan berliku-liku dengan panjang sekitar 1500 meter.
Gambar (izin) : modelling69.
Sumber :~H. Wata’__~H. Joa__~Dgn. Moddo :Tokoh Masyarakat Balangajia
- Advertisement -