Makassar.Sulsel – reaksipress.com – Menyikapi pemberian remisi narapidana oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, DPP Aliansi Peduli Anti Korupsi Republik Indonesia (APAK-RI) mengaku tidak sepakat.
Pada saat diwawancarai, Ketua DPP APAK RI, Mastan, SH., mengatakan perlu dipahami pemberian remisi pada narapidana kasus korupsi berbeda dengan narapidana tindak pidana umum lainnya. Pemberian remisi pada tindak pidana korupsi dapat diberikan apabila narapidana telah melakukan apa yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 disebutkan dalam Pasal 34 A aturan a quo bila napi koruptor karena tidak sembarangan begitu saja mendapat remisi.
“Pasal 34 A aturan a quo ditambahkan dua poin yakni bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya dan telah membayar lunas dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan. Oleh karenanya, pemberian remisi koruptor berbeda dengan tindak pidana umum lainnya yang hanya menyaratkan narapidana berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan.” Papar Mastan.
“Jangan sampai justru yang terlihat publik adalah adanya narapidana kasus korupsi yang diduga sempat mendapatkan fasilitas sel mewah malah diberikan pengurangan hukuman. Tentu hal ini harus dipandang sebagai pelanggaran prosedur, sehingga yang bersangkutan sepatutnya tidak layak mendapatkan remisi,” ujar Mastan.
Menurutnya, kekhususan remisi pada koruptor disebabkan kejahatan korupsi telah dikategorikan sebagai extraordinary crime. Hal tersebut menyiratkan perlakuan pada pelaku korupsi tidak bisa disamaratakan seperti tindak pidana lainnya.”Jadi, tidak dibenarkan adanya pernyataan dari KemenkumHAM yang menyebutkan pertimbangan pemberian remisi pada narapidana korupsi hanya terbatas pada berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan,” imbuh Mastan.
Maraknya pemberian remisi pada koruptor juga akan menganggu stabilitas dari pemberian efek jera pada sistem peradilan pidana.Keberadaan Lembaga Pemasyarakatan (LP), kata Mastan, harus dimaknai sebagai hilir dari pemberian efek jera.
Selain itu, KemenkumHAM dinilai tertutup lantaran tidak memberikan data siapa saja narapidana korupsi yang mendapatkan remisi. Padahal keterbukaan data itu perlu untuk menjaga keterlibatan publik sebagai kontrol kebijakan yang diambil.
“Jangan sampai ada kesan yang terlihat KemenkumHAM seperti menutup-nutupi jumlah serta narapidana korupsi mana saja yang mendapatkan remisi,” tukas Mastan.”
“KemenkumHAM harusnya dapat selaras dengan sikap Presiden pada 2015 lalu yang menyebutkan bahwa narapidana kasus korupsi seharusnya tidak mendapatkan pengurangan hukuman. Hal ini penting untuk tetap menjaga komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi,” tutup Mastan.
© Copyright 2023, Semua hak dilindungi undang-undang. Materi ini tidak boleh dipublikasikan, disiarkan, ditulis ulang, atau didistribusikan ulang tanpa izin.