Artikel.Sosial – reaksipress.com – Tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) masih menjadi permasalahan hukum yg sering terjadi di Indonesia. Padahal dalam hukum positif telah diatur secara tegas bahwa eigenrichting dikualifikasikan sebagai tindak pidana kejahatan.
Pada pasal 170 KUHP kejahatan ini diancam dengan hukuman maksimal 12 tahun penjara. Pasal tersebut menentukan bahwa:
(1) Barang siapa dengan terang-terangan dan secara bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Yang bersalah diancam:
1. dengan pidana penjara paling lama 7 tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka;
2. dengan pidana penjara paling lama 9 tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat;
3. dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, jika kekerasan mengakibatkan kematian
Eigenrichting sendiri juga bisa dikenakan pasal penganiayaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP yg menentukan:
1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Beberapa hari yang lalu viral di media sosial dan media cetak kasus main hakim sendiri oleh sejumlah warga di Jalan Trans Nabire, Dogiyai, Papua terhadap sopir truk Yus Yunus warga Desa Sugihwaras, Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat yg mengakibatkan korban tewas.
Hal yg menjadi viral bukan hanya tindakan warga, melainkan tindakan tersebut dilakukan dihadapan sejumlah aparat kepolisian bersenjata yang pada saat itu nampaknya melakukan pembiaran terhadap aksi sejumlah warga.
Tindakan polisi yang seolah tidak tegas tersebut turut menjadi perhatian di media sosial sehingga banyak masyarakat yang menyangsikan perlindungan dari aparat kepolisian kepada masyarakat.
Pada pernyataan, Kapolda Papua menyebutkan bahwa langkah aparat yang tidak mengambil tindakan adalah dengan pertimbangan agar tidak semakin banyak korban yang berjatuhan.
Langkah ini tentu menjadi dilematis bagi aparat polisi, disatu sisi dengan pembiaran tersebut polisi seolah membenarkan tindakan warga, namun disisi lain apabila aparat polisi mengambil tindakan tegas maka bukan tidak mungkin peristiwa tersebut akan semakin besar dan mengarah ke kerusuhan dan menimbulkan lebih banyak korban.
Tentunya keputusan aparat ini perlu ditelisik lebih jauh, apakah tindakan tersebut dibenarkan atau sebaiknya polisi tetap harus bertindak tegas? Melihat kasus tersebut nampaknya kita harus membuka kembali ketentuan dalam Pasal 18 UU No. 2 Tahun 2002 tentang kepolisian yg pada pokoknya menentukan bahwa pada dasarnya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kepolisian dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
Pada pasal tersebut telah ditentukan pula bahwa Polisi dapat bertindak atas penilaiannya sendiri manakala hal tersebut utk kepentingan umum dan hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi kepolisian negara republik Indonesia.
Oleh karena itu terhadap kasus tersebut di atas, tindakan yang diambil oleh aparat kepolisian dapat dikatakan diskresi dan tidak menyalahi aturan sepanjang syarat yg ditentukan pada Pasal 18 tersebut terpenuhi.
Namun perlu diingat, terhadap tindakan diskresi ini perlu pembatasan karena rentan penyimpangan dan penyalahgunaan sehingga ruang lingkupnya harus ditentukan secara tegas.
© Copyright 2023, Semua hak dilindungi undang-undang. Materi ini tidak boleh dipublikasikan, disiarkan, ditulis ulang, atau didistribusikan ulang tanpa izin.