Nasional – Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar dipastikan naik per 1 September 2022. Sinyal kuat ini muncul setelah pemerintah mengumumkan adanya penyaluran bantuan sosial segera senilai Rp24,7 triliun.
Dari sumber yang diperoleh menyebutkan, rapat terakhir dalam internal pemerintah memutuskan kenaikan harga BBM akan berlaku pada 1 September 2022. Perihal kenaikan ini, Pertalite akan disesuaikan harganya menjadi Rp 10.000 per liter. Kemungkinan juga di bawah Rp 10.000/liter.
Namun tidak hanya Pertalite dan Solar, pemerintah akan mendorong Pertamina menyesuaikan Pertamax dari harga yang sekarang dipatok Rp 12.500 per liter.
Adapun, LPG 3 kg dan tarif listrik dipastikan tidak akan ada kenaikan. Lantas, bagaimana kondisi Indeks Harga Konsumen (IHK) jika pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM per 1 September nanti?
Berdasarkan Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia (BI) pada minggu keempat Agustus 2022, IHK diperkirakan mengalami deflasi sebesar 0,13% (month-to-month/mtm).
Komoditas utama penyumbang deflasi Agustus 2022 sampai dengan minggu keempat yaitu bawang merah sebesar -0,17% (mtm), cabai merah sebesar -0,13% (mtm), minyak goreng dan cabai rawit masing-masing sebesar -0,07% (mtm), daging ayam ras sebesar -0,04% (mtm), tarif angkutan udara dan tomat masing-masing sebesar -0,03% (mtm), serta bayam, bawang putih dan jeruk masing-masing sebesar -0,01% (mtm).
Sementara itu, komoditas yang mengalami inflasi pada periode minggu keempat Agustus 2022 yaitu Bahan Bakar Rumah Tangga (BBRT) sebesar 0,08% (mtm), telur ayam ras dan rokok kretek filter masing-masing sebesar 0,03% (mtm), beras sebesar 0,02% (mtm), serta semen, air kemasan dan kentang masing-masing sebesar 0,01% (mtm).
Dengan demikian, bisa dipastikan, pemerintah bakal menetapkan kenaikan harga BBM di tengah kondisi IHK yang landai atau sedang mengalami deflasi.
Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro melihat risiko kenaikan inflasi yang bersifat satu kali jika kenaikan harga BBM terlalu tinggi. Namun, dia menegaskan risiko ekonomi dan politik akan lebih besar jika kenaikan pemerintah terlalu sedikit.
Menurutnya, konsensus umum melihat jika inflasi Indonesia melampaui antara 6% atau bahkan 7% karena kenaikan harga bahan bakar, aksi jual aset rupiah akan terbatas.
“Faktanya, cetakan inflasi seperti itu masih dapat diterima di dunia di mana pertumbuhan IHK yoy (year-on-year) telah mencapai 10% di Brasil dan Inggris,” ujarnya.
Lebih lanjut, Satria memandang kenaikan harga BBM tidak akan berhenti di tahun ini. “harga BBM harus disesuaikan lagi pada tahun 2023,” tegasnya.
Selain itu, dengan diberlakukannya kembali aturan pembatasan defisit fiskal hingga 3% dari PDB tahun depan, potensi pembengkakan subsidi energi juga akan menimbulkan masalah bagi pengelolaan anggaran Indonesia.
© Copyright 2023, Semua hak dilindungi undang-undang. Materi ini tidak boleh dipublikasikan, disiarkan, ditulis ulang, atau didistribusikan ulang tanpa izin.